Preaload Image
  • Thomasen Midtgaard posted an update 2 years, 5 months ago

    SariAgri –  Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa orang yang tinggal di wilayah dengan tingkat polusi udara tinggi lebih berisiko mengalami tingkat keparahan lebih besar ketika terinfeksi virus Covid-19.

    Dalam penelitian disebutkan, mereka yang tinggal di daerah tercemar, seperti di areal dekat pembuangan limbah dan lalu lintas padat, lebih besar untuk dirawat di unit perawatan intensif dan lebih banyak membutuhkan ventilasi mekanis usai terinfeksi Covid-19.

    berita dunia terkini “Kuncinya adalah bahwa tinggal di lingkungan yang lebih tercemar merupakan faktor risiko independen untuk keparahan penyakit COVID-19,” kata penulis studi Dr. Anita Shallal, dari Rumah Sakit Henry Ford di Detroit.

    Menurut American Lung Association, Detroit adalah kota paling tercemar ke-12 di Amerika Serikat, diukur dengan polusi partikel halus sepanjang tahun. Karena populasi berpenghasilan rendah dan minoritas sering tinggal di daerah yang lebih tercemar. “Menarik perhatian pada ketidaksetaraan sistemik yang mungkin menyebabkan perbedaan mencolok dalam hasil COVID-19 di sepanjang garis ras dan etnis,” kata Shallal.

    “Komunitas kulit berwarna lebih mungkin berlokasi di daerah yang lebih dekat dengan polusi industri, dan bekerja di bisnis yang membuat mereka terpapar polusi udara,” tambah Shallal.

    Penelitian baru ini dijadwalkan akan dipresentasikan selama pertemuan tahunan online Kongres Mikrobiologi Klinis & Penyakit Menular Eropa. Dr. Theodore Maniatis, direktur medis di Staten Island University Hospital di New York City, mengatakan temuan itu “masuk akal”. Dia mengatakan bahwa paru-paru bekerja dalam “keseimbangan halus” yang mudah terganggu oleh udara kotor.

    “Apa pun yang mengganggu keseimbangan itu kemungkinan akan meningkatkan risiko infeksi paru-paru dan menurunkan kemampuan paru-paru untuk membersihkan infeksi semacam itu,” kata Maniatis, yang tidak terlibat dalam studi baru.

    Dalam studi tersebut, sebagaimana dilansir UPI.com, tim Shallal mengumpulkan data tentang tempat tinggal para peserta, serta data dari Badan Perlindungan Lingkungan dan sumber lain tentang tingkat polutan lokal termasuk PM2.5, ozon, dan cat timbal.

    Baca Juga: Turunkan Hasil Panen, Ini 4 Polutan yang Merusak TanamanMasker Grafena Buatan Mahasiswa Unpad Raih Penghargaan Bergengsi

    Mereka menggunakan data ini untuk mengeksplorasi hubungan antara hasil COVID-19 dan paparan berbagai polutan. Hasilnya, pasien COVID-19 yang tinggal di daerah dengan tingkat PM2.5 dan cat timbal yang lebih tinggi lebih mungkin memerlukan ventilasi mekanis dan dirawat di ICU, dibandingkan dengan mereka yang tinggal di lingkungan yang kurang tercemar.

    Faktanya, setiap peningkatan kecil dalam paparan PM2.5 jangka panjang dikaitkan dengan lebih dari tiga kali kemungkinan ventilasi mekanis dan dua kali kemungkinan tinggal di ICU. Namun demikian, temuan ini tidak serta merta terkait dengan risiko kematian yang lebih besar.

    Mereka mencatat bahwa penelitian ini tidak dapat membuktikan sebab-akibat, hanya saja polusi dikaitkan dengan hasil COVID-19 yang lebih buruk.

    Para peneliti juga menemukan risiko yang lebih besar untuk pasien yang berjenis kelamin laki-laki, berkulit hitam, obesitas atau dengan kondisi kesehatan jangka panjang yang parah. Mereka jauh lebih mungkin membutuhkan ventilasi mekanis dan dirawat di ICU.

    Laki-laki, dengan obesitas atau memiliki kondisi kesehatan jangka panjang yang parah, menurut penelitian juga menjadi prediktor kematian setelah masuk. Berbicara dalam siaran pers, Shallal mengatakan belum jelas “bagaimana polutan udara berkontribusi pada penyakit yang lebih parah,”paparnya.

    Tetapi dia berteori bahwa “Mungkin paparan polusi udara dalam jangka panjang dapat merusak sistem kekebalan tubuh, yang mengarah pada peningkatan kerentanan terhadap virus dan infeksi virus yang lebih parah,”jelasnya.

    “Partikel halus dalam polusi udara juga dapat bertindak sebagai pembawa virus, meningkatkan penyebarannya,” kata Shallal.

    “Penelitian lebih lanjut yang mendesak diperlukan untuk memandu kebijakan dan perlindungan lingkungan, untuk meminimalkan dampak COVID-19 di komunitas industri tinggi yang merupakan rumah bagi penduduk kita yang paling rentan,”tambahnya mengingatkan.

    Temuan ini ditanggapi Irene Galperin, kepala kedokteran paru di Long Island Jewish Forest Hills, di New York City. berita terkini hari ini Ia mencatat bahwa “menghirup partikel halus dapat menyebabkan peradangan kronis, berkurangnya respons kekebalan dan berkurangnya kemampuan paru-paru untuk menyembuhkan dan memperbaiki dirinya sendiri,”tuturnya.

    “Berdasarkan studi terbaru ini, (mungkin) pasien dengan riwayat paparan semacam itu lebih mungkin mengembangkan penyakit COVID 19 yang parah,” jelas Galperin.

    Video terkait: